F*** this s***, I'm gonna jog

Pesawat kami dipindahkan jadwalnya dari jam 10 malam itu, ke jam 3 dini hari besoknya.

4 September. Perjalanan dari kosku ke bandara memakan waktu sekitar 2 sampai 3 jam. Tetapi sebelum itu kami tahu kalau kereta akan diberhentikan mulai siang. Pesimis kalau kereta akan beroperasi lagi malam itu, kami berdua memutuskan untuk pergi cukup pagi.  Memakai kereta terakhir, kami sampai juga di bandara sekitar jam 11 siang. Di tengah perjalanan, awan hitam terlihat di kejauhan, dan hujan mulai turun.

Sampai di bandara, sudah cukup lega dan kami berpikir tinggal menunggu sampai besok pagi. Kami akan pulang ke Indonesia.

Di Bandara Internasional Kansai setelah mencari beberapa saat, kami mendapat tempat duduk. Jumlah orangnya tidak terlalu banyak, namun karena beberapa penerbangan ditunda, mereka tidak beranjak dari tempat duduknya.

Jam 3 sore. Seperti yang ada di ramalan cuaca, angin mulai bertiup kencang. Dari tempatku duduk, terlihat pohon bambu yang bergoyang dengan hebatnya. Atap halte bus pun seakan mau lepas dari tiangnya. Saat itu aku kembali bersyukur, untung sudah di bandara. Tidak terbayang kalau masih di luar pada jam itu. Dari pengeras suara, mulai terdengar pemberitahuan tentang penerbangan lain yang ditunda.

Jam 6 sore. Walaupun badai sudah berhenti, aku baru menyadari kalau lampu mati di banyak tempat. Pembangkit listrik hanya menyalakan bagian-bagian vital seperti kamar mandi dan beberapa toko yang beruntung, mungkin karena letaknya strategis. Sepertinya listrik yang tidak mengalir juga mengakibatkan tidak adanya daya untuk memberitahukan informasi apa-apa lewat pengeras suara.

Orang-orang mulai mengantre untuk membeli makanan dan minuman dari kios swalayan dan mesin minuman. Yang dalam waktu singkat habis. Sepasang kakek nenek yang duduk di sebelahku membentak seorang petugas yang lewat
"Apa-apaan ini?! kalau ada kerusakan, kasih informasi dong! Sampai kapan mati lampu begini?"
Yang ditanya terlihat menahan emosi, dan menjawab
"Kami juga tidak mempunyai informasi sama sekali."
Sementara di belakang tempat duduk kami, beberapa remaja bermain kartu di atas koper mereka seperti tidak ada yang terjadi.

Mungkin karena terhalang badai, sinyal yang diterima ponsel melemah, membuatnya hanya bisa digunakan di beberapa titik. Saat sinyal bisa diterima (di lantai paling atas), aku baru tahu kalau ada kapal tanker yang menabrak jembatan menuju bandara, sepertinya itu yang menyebabkan terputusnya daya. Landasan pesawat yang terendam air juga membuat penerbangan tidak memungkinkan.

Mumpung masih di atas, aku mencoba menelefon ibuku. Tersambung. Aku tidak merasa melebih-lebihkan kondisi yang terjadi. Namun sepertinya, bagaimanapun aku berusaha untuk tetap tenang, aku terdengar panik di seberang sana.

Untungnya, sejauh pengetahuanku, di bandara saat itu tidak ada korban jiwa.

Keesokan harinya kami dan sekitar 5000 orang lainnya dievakuasi menggunakan kapal feri ke Kobe. Berdua, kami bergantian berdiri di barisan, menunggu dijemput bis, menuju pelabuhan. Di sela-sela antrean, aku ke toilet. Melewati tempat duduk yang kemarin, remaja yang sama masih saja bermain kartu sambil tertawa-tawa. Kami harus mengantre sampai sore hari. Saat itu kami juga melihat seseorang menggunakan pakaian olahraga, seperti tak peduli dengan evakuasi, dia berlari.

Komentar

Postingan Populer